Kisah Dhea, Sang Kapten Basket Kepincut Hijab
“Dhea, itu aku. Siapa sih yang nggak kenal aku jika bertanya di setiap sudut SMA Persada? Bukan mau sombong, tapi aku memang sangat aktif berorganisasi sewaktu SMA. Jadi ketua OSIS, Field Commander Marching Band, dan Kapten tim bola basket putri. Sebagai ketua OSIS, tentu aku selalu terlihat di SMA. Setelah mengurus kegiatan OSIS, aku meninggalkan sekolah dengan sepeda motor matic kesayanganku. Siang ini, ada latihan piano terakhir sebelum ujian kenaikan tingkat minggu depan. Aku menikmati kesibukan ini, meskipun harus rela pulang ke rumah menjelang matahari terbenam.
Hari Kamis, OSIS dan seksi kerohanian Islam akan mengadakan rapat sepulang sekolah nanti. Kami akan membahas kegiatan ceramah bagi siswi-siswi muslim. Rapat tersebut dihadiri oleh Kak Ridwan, kakak kelas pembina seksi kerohanian Islam.
Kak Ridwan ganteng dan mempunyai banyak penggemar. Diperoleh kesepakatan bahwa acara ceramah akan dilaksanakan hari Jumat, dua minggu lagi. Sejak saat itu, aku sering berinteraksi dengan Kak Ridwan.
“Nanti jangan lupa pakai jilbab, ya, waktu acara,” ucap Kak Ridwan menjelang hari pelaksanaan.
Aku hanya mengangguk-angguk malas. Kak Ridwan lalu pergi. Aduh, pakai jilbab di acara ceramah? Pasti panas dan membosankan. Malas, ah.
Hari H pun tiba. Tepat pukul 12 siang, semua siswi muslim dari berbagai tingkatan kelas berkumpul di ruang serbaguna untuk mendengarkan ceramah dari seorang ustadzah ternama. Dan, tema yang diangkat kali ini mengenai busana muslimah. Setelah sambutan dari pihak sekolah dan OSIS, tiba saatnya sang ustadzah memberi ceramah. Ceramah dibawakan dengan serius tapi berkesan santai, dan semua senang mendengarkannya, tak terkecuali aku.
“Adalah suatu kewajiban seorang muslimah untuk menutup auratnya mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, kecuali wajah dan telapak tangan,” kata ustadzah itu menjelaskan.
Mendengarnya, spontan kepalaku terasa panas, teringat rambutku yang sehari-hari aku biarkan. Apalagi saat ceramah berlangsung, aku membuka jilbab yang tadi kukenakan saat memberi kata sambutan. Spontan, aku menutupi rambutku yang tergerai, menatap malu ke arah peserta lain yang memakai jilbab rapi.
Malam hari ketika hendak tidur, aku merasakan sesuatu. Di telingaku terus saja terngiang ceramah siang tadi. Batinku bergejolak, antara keinginan mengenakan hijab dan perasaan berat melepas jabatan sebagai kapten tim basket setelah berbusana muslim nanti. Dan, hal ini membuat tidurku malam itu terasa tak nyenyak. Aku terus saja memikirkan keinginanku untuk berjilbab, bahkan beberapa hari ini keinginan itu semakin kuat, tapi masih belum berani. Akhirnya saya memiliki kesempatan untuk berbincang-bincang dengan ayah dan ibu usai makan malam, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan niatku.
“Benar kamu, Dhe? Ibu nggak salah dengar, kan?” tanya ibu.
“Nggak kok, Bu…, keinginan ini sudah aku pertimbangkan dalam beberapa hari ini, dan aku mantap untuk berjilbab,” kataku lagi.
“Alhamdulillah, anak kita mantap berjilbab,” ujar ibu, senang.
Hari Senin, bertepatan dengan awal bulan Februari, aku mulai berhijab. Dengan hati-hati, aku melangkah masuk ke gerbang sekolah. Di hari pertama aku berhijab, seluruh murid SMA Persada memandang heran. Ada yang senang dengan perubahanku, ada yang beranggapan bahwa aku hanya ikut-ikutan, dan ada yang menganggapnya biasa saja. Di dalam kelas, aku mendapatkan perlakuan yang berbeda dari kebanyakan teman-teman lelaki. Ada yang menyapa dengan sopan, ada pula yang mengolok-olok hingga membuat wajahku memerah. Sebagian teman perempuan ada yang memandangku dengan sinis sambil berbisik-bisik, ada pula yang hanya tersenyum.
Aku benar-benar galau, pikiranku kacau. Memikirkan akan terus melanjutkan mengenakan hijab atau nggak? Ketika bel sekolah berdentang tandai usai jam sekolah, aku bergegas pulang dan memacu motor kesayanganku kencang agar segera tiba di rumah. Begitu tiba di rumah, aku buru-buru masuk ke kamar, ambruk di kasur dan menumpahkan semuanya. Aku enggan melakukan apa pun, tidak keluar dari kamar, tidak juga mau makan. Yang kulakukan hanyalah menangis dan menangis. Hingga akhirnya aku jatuh sakit.
Ibuku segera mengajakku ke dokter langgananku, dr. Rasyid. Menurutnya, aku tidak sakit, tapi hanya stres. Setelah ditanya, akhirnya aku menceritakan semua tekanan yang telah aku alami. Dokter Rasyid tersenyum lalu berkata, “Dhea, keputusan kamu untuk berjilbab itu adalah keputusan hati nurani kamu. jangan pernah pedulikan anggapan-anggapan miring yang macam-macam. Lebih baik kamu tunjukkan pada teman-temanmu itu bahwa dengan berjilbab kamu tetap dapat berprestasi.” Aku tersadar. Benar juga ya….
Dua hari kemudian, aku merasa diriku sudah sehat dan kembali masuk sekolah. Aku tetap mengenakan hijab seperti panggilan hatiku. Tiba di sekolah aku disambut oleh temanku, Yasmin dan Nurhayati. Mereka melepas kangennya padaku.
“Kamu sudah sehat, Dhe?” tanya Yasmin.
“Alhamdulillah, udah,” jawabku.
“Dan, sekarang kalau ada gosip macam-macam soal jilbab ini, tinggal gue jawab aja, jilbabku bikin aku tambah manis, kok,” kataku setengah bercanda.
*****
Mau tahu kisah-kisah lain yang tidak kalah serunya? Ikuti dan dengarkan curahan hati mereka di buku “#HIJAB1ST” terbitan QultumMedia. Di dalam buku ini mereka mengungkapkan pengalamannya ketika pertama kali berhijab. Kisah mereka sangat berkesan sehingga tidak mungkin terlupakan, ada tawa, tangis, haru, gugup, atau bahkan keterpaksaan.
No Comments