Menggapai Nasib Hidup yang Lebih Baik Melalui Tawakal

 

Prinsip tawakal terkadang menjadi agak ruwet ketika dikaitkan dengan nasib kita. Sebagian memahaminya dengan keliru, menganggap bahwa tawakal adalah pasrah secara total kepada Allah tanpa berbuat apa pun. Sebagian lagi tidak menganggap penting tawakal, yang penting adalah kerja keras, sehingga mereka kadang memaknai doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah hanya sebatas penenang hati.
Dikisahkan, suatu hari seorang Badui datang kepada Nabi Muhammad saw dengan menunggang seekor unta. Sesampainya di depan masjid, orang Badui tersebut langsung masuk masjid dan membiarkan untanya tanpa mengikatnya. Ketika ditanya oleh sahabat yang lain, ia menjawab, “Saya bertawakal kepada Allah. Saya serahkan sepenuhnya unta saya ini kepada Allah.” Mendengar itu, Nabi saw bersabda, “Ikatlah unta itu, kemudian bertawakallah kepada Allah.”

Pemahaman tawakal seperti di atas juga masih banyak berkembang di antara umat Islam. Mungkinkah pemahaman keliru seperti ini ikut berperan dalam menciptakan kemunduran umat Islam? Nabi mengajarkan agar kita bekerja dan berupaya lebih dahulu sebelum pasrah kepada Allah. Ada aturan hukum alam (sunatullah) yang mesti kita ikuti agar dapat sukses mengelola hidup. Untuk menjadi kenyang, kita harus makan. Dan lain sebagainya.

Dalam kisah lainnya diceritakan. Suatu hari, Imam Ahmad bin Hanbal beserta murid-muridnya ingin berangkat ibadah haji. Beliau lalu menyuruh murid-muridnya berkemas-kemas segala persiapan haji. Semua murid beliau mempersiapkan diri secara  fisik, mental maupun finansial, kecuali satu murid saja yang hanya berdiam diri.
Imam Ahmad pun heran dan bertanya kepada sang murid yang tidak mempersiapkan diri ini, “Kenapa kamu diam saja, tidak mempersiapkan segalanya untuk berangkat haji?”
Sang murid menjawab, “Aku bertawakal kepada Allah.”
Imam Ahmad menanggapinya, “Tidak. Kamu tidak bertawakal kepada Allah, tapi kamu bertawakal (bergantung) kepada kawan-kawanmu.”

Imam Ahmad mengajarkan kepada kita tentang hakikat tawakal yang benar. Apa yang dilakukan murid di atas seringkali, terasa atau tidak, menjangkit dalam kehidupan kita. Tawakal menurut Imam Ahmad bukanlah hanya berdiam diri tanpa usaha. Tawakal juga bukan kepasrahan buta tanpa upaya.

Selanjutnya, apakah sebenarnya tawakal itu menurut pandangan Islam yang sesungguhnya? Apakah manusia punya peran dalam menentukan nasibnya? Seberapa besar perannya? Kapan saja kita mesti bertawakal? Apa saja manfaat tawakal? Hal inilah yang dibahas oleh H. Supriyanto, Lc., M.Si di dalam bukunya, “Tawakal Bukan Pasrah”.

Selain itu, di dalam buku terbitan QultumMedia ini, penulis juga menjelaskan mutiara di antara sipat terpuji dari tawakal, hubungan takdir dan ikhtiar, 1001 buah tawakal, bentuk tawakal yang benar, kisah-kisah orang yang mendapatkan dahsyatnya tawakal, dan istighosah menjelang Ujian Nasional. Dilengkapi pula dengan doa-doa yang terkait dengan tawakal agar kita selalu dibimbing dan mendapat pertolongan Allah SWT.

Buku ini, insya Allah bisa mengantarkan Anda untuk menggapai nasib hidup yang lebih baik melalui jalan hakikat tawakal kepada Allah SWT.

qultummedia:
Related Post
Leave a Comment