Hukum Menikah di Depan Jenazah

Hidup di Indonesia merupakan suatu kenikmatan. Banyak ragam budaya yang tak dimiliki oleh negara lain. Dari sini, kita memunyai kesempatan yang luas untuk belajar ilmu sosial terutama antropologi. Salah satu kebudayaan unik yang ada di Indonesia terkait acara pernikahan adalah mengucapkan ijab kabul di depan jenazah. Kondisi ini kerap ditemukan di masyarakat Jawa. Namun, belum dapat ditemukan asal-muasal sejarah pernikahan model ini.

 

Melangsungkan ijab kabul pernikahan di depan jenazah, biasanya dilakukan saat pernikahan sedang direncanakan, tapi tiba-tiba tanpa disangka-sangka terjadi musibah, orangtua mendadak meninggal dunia. Sebagaimana yang pernah muncul di dalam berita media masa, atas meninggalnya sang ayah salah satu calon mempelai. Salah satu motivasinya, mungkin mereka ingin agar sang ayah yang sudah meninggal ikut menyaksikan pelaksanaan ijab kabul pernikahan putra/putrinya.

Alasan tersebut sulit diterima akal, logika, dan perasaan. Jika mereka bermaksud agar sang ayah menjadi wali dalam pernikahan, hal ini tidak dibenarkan oleh syariat, karena ia sudah meninggal. Orang yang meninggal sudah tidak lagi berfungsi seluruh organ-organ tubuhnya. Tangannya tidak lagi menyalami, matanya tidak dapat memandang lagi, dan jantungnya pun sudah tidak berdetak lagi. Sedangkan secara syariah, orang yang meninggal artinya rohnya sudah terlepas dari jasad, dan itu artinya ia sama sekali tak mampu lagi melakukan perbuatan apa pun apalagi perbuatan hukum.

Pembacaan ijab kabul di depan jenazah pun tak ada manfaatnya sama sekali, baik bagi si jenazah maupun yang melakukannya, bahkan para hadirin semuanya. Kematian adalah peristiwa duka, sedangkan pernikahan adalah peristiwa bahagia. Di tengah suasana duka tersebut, bagaimana mungkin kita akan merasa bahagia? Lagi pula, apa hal tersebut tidak merepotkan diri sendiri? Mengurus jenazah saja sudah menyita waktu dan tenaga, mulai dari mencari kain kafan, memandikan, menghubungi pihak pemakaman, masih ditambah lagi dengan menghubungi penghulu, rias pengantin, menyiapkan mahar dan sebagainya, yang semua serba terburu-buru. Untuk apa?

Hal yang lebih baik dilakukan adalah mengurus jenazah terlebih dahulu, memandikan, menshalatkan, mendoakan dan menguburkan sampai semua persoalan yang berhubungan pengurusan jenazah selesai. Setelah suasana tenang, baru ijab kabul dapat dilakukan. Jika memang sudah terlanjur direncanakan hari dan tanggalnya, tinggal dilaksanakan saja sesuai perencanaan. Nantinya, pada acara akad nikah, bolehlah kita selipkan serangkaian doa bagi kebahagiaan sang ayah/keluarga yang telah mendahului kita tersebut.

Dengan demikian, pembacaan ijab kabul di depan jenazah adalah sebuah kesalahan yang seharusnya tak perlu dilakukan. Di samping tak masuk akal, syariah pun tak mengaturnya. Apabila ayah sudah meninggal, wali nasab dapat digantikan oleh yang lain, kakek, saudara laki-laki, atau paman sesuai tertib wali. Orang yang sudah meninggal tidak dapat menjadi wali nikah. Kendati tak layak dilakukan, perkawinan di depan jenazah tetap sah, asalkan terpenuhi rukun dan syaratnya.

Sebenarnya masih banyak lagi kesalahan-kesalahan yang kerap dilakukan oleh masyarakat dalam masalah pernikahan, mulai dari kesalahan dalam peminangan, wali nikah, mahar, pembacaan ijab kabul, pernikahan dini di bawah tangan, poligami, wanita hamil, nafkah keluarga, talak, hingga masa idah dan rujuk. Semua penjelasannya, dapat Anda temukan selengkapnya di dalam buku “100+ Kesalahan dalam Pernikahan”. Elvi Lusiana. QultumMedia. 2011.

 

qultummedia:
Related Post
Leave a Comment