
Kaidah Mengeluarkan Zakat
Nama : Rini Email : riniopie@….. Pertanyaan: |
Asalammu alaikum
Saya Rini dari Bandung, ingin bertanya. Benarkah kalau kita ingin berzakat harus ke orang yang terdekat dulu? Bagaimana dengan nilai ibadah jika kita berzakat dengan hati setengah-setengah? Dan, apakah kita harus berzakat dengan harta saja atau bisa juga dengan yang lainnya?
Terima kasih
Jawaban:
Waalaikum salam warahmatullahi wabarakaatuh.
Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahman dan rahim-Nya kepada Ibu Rini. Amiin. Dalam menyalurkan harta yang ditujukan bagi suatu individu, seperti infak, zakat, dan sedekah, Allah SWT telah memberikan prioritas yang harus kita dahulukan sebagai pemberi atau muzaki. Di antaranya melalui ayat-ayat berikut.
Nama : Rini Email : riniopie@….. Pertanyaan: |
Asalammu alaikum
Saya Rini dari Bandung, ingin bertanya. Benarkah kalau kita ingin berzakat harus ke orang yang terdekat dulu? Bagaimana dengan nilai ibadah jika kita berzakat dengan hati setengah-setengah? Dan, apakah kita harus berzakat dengan harta saja atau bisa juga dengan yang lainnya?
Terima kasih
Jawaban:
Waalaikum salam warahmatullahi wabarakaatuh.
Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahman dan rahim-Nya kepada Ibu Rini. Amiin. Dalam menyalurkan harta yang ditujukan bagi suatu individu, seperti infak, zakat, dan sedekah, Allah SWT telah memberikan prioritas yang harus kita dahulukan sebagai pemberi atau muzaki. Di antaranya melalui ayat-ayat berikut.
“Malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 177)
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah:"Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS Al-Baqarah [2]: 215)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS An-Nisaa [4]: 36)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu daoat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl [16]: 90)
“Maka berikanlah pada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) pada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi oramg-orang yang mencari keridhaan Allah; dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ar-Ruum [30]: 38)
Dari ayat-ayat di atas, kaum kerabat selalu berada di posisi terdahulu, kecuali didahului oleh ibu-bapak. Hal ini merupakan bagian dari kaidah penyaluran harta yang kita miliki dalam bentuk nafkah dan sedekah. Jadi rumusannya, prioritasnya yang terdekat dahulu baru kemudian kepada jarak terjauhnya, baik secara nasab maupun jarak wilayah.
Adapun dalam kaidah penyaluran zakat. Di dalam Al-Quran dalam surat At-Taubah ayat 60 telah ditetapkan para mustahiknya atau orang-orang yang berhak menerima zakat yang berjumlah delapan. Yaitu fakir, miskin, amil zakat, mualaf, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang, untuk di jalan Allah, dan musafir. (lihat penjelasannya dalam buku Panduan Pintar Zakat). Namun, jika para kerabat kita telah masuk ke dalam salah satu dari 8 asnaf tadi, mereka harus kita dahulukan untuk menerima zakat tersebut, kecuali ada aspek darurat dan kemaslahatan yang mesti mendahulukan yang lainnya. Misalnya, untuk kepentingan membantu bencana dan perjuangan jihad.
Mengenai pertanyaan kedua. Menyangkut tentang nilai atau kualitas ibadah zakat kita yang dilakukan dengan hati setengah-setengah. Di dalam Al-Quran, Allah SWT telah menekankan pentingnya ikhlas dan menempatkan posisi ikhlas sebagai tolak ukur suatu perbuatan sekaligus menempatkan orang-orang yang ikhlas pada derajat yang tinggi di sisi Allah.
“Katakanlah: Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan Kami dan Tuhan Kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya mengikhlaskan hati.. (QS Al-Baqarah (2): 139)
“Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. (QS An-Nisaa [4]: 146)
“Katakanlah: Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan. Dan (katakanlah): Luruskan muka (diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya.." (QS Al-Araaf [7]: 29)
Memang, dalam ilmu fikih tidak memasukan ikhlas sebagai rukun zakat. Jadi, sekalipun kita mengeluarkan zakat karena ingin mendapatkan pujian (tidak ikhlas karena Allah), ia tetap sah atas zakatnya apabila persyaratan-persyaratannya telah terpenuhi. Namun, kualitas amal zakat kita nilainya menjadi berkurang, bahkan bisa hampa. Sebab, setiap amal ibadah mesti hanya karena memenuhi perintah Allah SWT dan mengharap ridha-Nya.
Dalam satu hadis disebutkan bahwa riya (ingin dilihat orang lain; pamer) sudah merupakan syirik kecil. Yakni sebagai isyarat kita telah menyekutukan Allah dengan yang lainnya dalam amal ibadah kita dalam hal sebab dan tujuannya. Oleh sebab itu, amal ibadah yang dilakukan dengan riya atau pun sejenisnya, seperti ingin mendapat pujian dan ingin didengar orang lain, kita tidak akan mendapatkan pahala dan nilai yang sempurna dari Allah SWT. Kenapa? Karena sebab dan tujuannya pun bukan karena Allah SWT.
Adapun pertanyaan terakhir. Dalam kaidah pengeluaran atau pembayaran zakat, ada variasi pendapat. Misalnya, dalam pembayaran zakat fitrah. Mayoritas ulama fikih mengharuskan membayar zakat fitrah dengan bahan makanan yang biasa mereka konsumsi sebagai makanan pokok. Jadi, jika makanan pokoknya beras, membayarnya pun harus memakai beras. Sedangkan, sebagian ulama dan ulama Mazhab Hanafiyah membolehkan membayar zakat fitrah dengan alat pembayaran berupa uang yang sebanding dengan harga makanan pokok tersebut. Sebagaimana juga telah dibolehkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika beliau menjabat sebagai khalifah.
Sementara itu, dalam zakat mal ada beberapa klasifikasi yang utama dan boleh dijadikan pembayaran zakat. Yakni sebagai berikut.
1. Zakat binatang ternak.
Lebih utama dibayarkan dengan binatang ternak sesuai nisab dan kadar yang mesti dikeluarkan. Namun, jika terdapat maslahat yang lebih besar daripada itu, kita dibolehkan membayarnya dengan alat pembayaran uang.
2. Zakat pertanian.
Lebih utama membayarnya dengan hasil pertanian yang dizakatinya tersebut. Namun, jika terdapat maslahat yang lebih besar daripada itu, kita juga dibolehkan membayarnya dengan alat pembayaran uang.
Dalam satu hadits disebutkan, “Ambillah zakat dari biji-bijian berupa biji-bijian, kambing dengan kambing, unta dengan unta, sapi dengan sapi. (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Al-Hakim)
3. Zakat selain pertanian dan binatang ternak. Seperti, harta tunai (uang; saham; cek; dll), emas, perak, dan rikaz.
Karena jenis-jenis harta ini bukan barang konsumsi. Maka, tentu saja kita mengeluarkannya mesti dalam bentuk nilai pembayaran uang, terutama dalam zakat harta tunai.
Catatan: Dalam zakat terdapat tujuan dan kemaslahatan yang harus dipenuhi, baik bagi muzaki maupun mustahik. Dalam hal pembayaran, tentu hal ini tidak boleh terlewatkan. Jika seandainya kita mendapati kemaslahatan yang lebih besar dengan membayar zakat dengan uang atau harta zakat itu sendiri, tentu hal ini harus didahulukan. Allah tidak mempersulit hamba-Nya dalam menjalankan syariat agamanya. Allah selalu memberikan kemudahan dan jalan keluar setiap aspek ibadah jika ditemukan kesulitan di dalamnya. Maka, jika muzaki merasa kesulitan dengan membayar zakat dengan hasil pertaniannya atau ternaknya, ia diperbolehkan membayarkannya dengan uang seharga kadar zakat yang mesti dibayarkannya.
Wallahu alam bishawaab
No Comments