Bincang-bincang Bareng Penulis “Melangkah Searah”

Buku Melangkah Searah sudah memasuki cetakan kedua sejak diterbitkan bulan lalu. Aji Nur Afifah, sang penulis buku, berbagi pengalaman tentang proses penulisan buku ini dan sekelumit tentang isinya. Mari ikuti perbincangan kami dengan penulis kelahiran Malang yang kini menetap di Yogyakarta ini.

***

 

Assalamualaikum, Mbak Apik, apa kabar?

Wa’alaikumussalam, kabar alhamdulillah baik. Ini lagi pulang kampung, jadi semakin merasa baik, karena bahagia bisa kangen-kangenan sama keluarga. Hehehe.

Sebelumnya, kami sampaikan selamat atas terbitnya buku terbaru Mbak. Boleh dong, Mbak, diceritakan sepintas saja tentang ide awal menulis buku ini …

Ide awalnya, sebenarnya tulisan-tulisan semacam ini sudah lama tercecer di blog. Saya dan suami membuat sebuah rubrik di Tumblr yang berjudul “Rumah Tangga Muda” atau biasa disebut RTM. Lalu kami merasa, sepertinya akan lebih bermanfaat jika mengumpulkannya menjadi sebuah buku yang runut dan bisa dijangkau oleh lebih banyak pembaca. Karena, kan, kalau di Tumblr kebanyakan yang baca, ya, orang-orang Tumblr. Kalau sudah dalam bentuk buku, akan lebih banyak lagi yang bisa membacanya.

Ada yang bilang kalau sepasang kekasih itu sebenarnya tidak cukup mengenal satu sama lain sampai keduanya menikah. Menurut Mbak bagaimana?

Saya sepakat dengan statemen tersebut. Menurut saya pribadi, menikah itu memang ajang mengenal yang paling komprehensif. Semuanya bisa terbuka, itulah mengapa kita dan pasangan adalah ‘pakaian’ satu sama lain. Ya karena aib-aib kita, kebiasaan kecil, sifat asli, karakter, semuanya akan terbuka setelah menikah. ‘Pakaian’ itu sejatinya menutupi dan melindungi. Nah, itulah mengapa dalam Islam sebenarnya nggak ada istilah kekasih sebelum menikah, adanya kenalan saja, untuk menyamakan visi-misi pernikahan. Pacaran bertahun-tahun juga nggak menjamin bisa mengenal pasangan dengan sebenarnya, Makanya, dalam Islam nggak boleh (pacaran, red.). Karena bukannya saling mengenal, nanti malah kebablasan setan yang mengenalkan kita ke yang nggak-nggak. Hehehe.

Ada nggak sih sesuatu yang mengejutkan, lucu, atau mengharukan setelah Mbak dan suami hidup bersama?

Banyak sih, saya dan suami ini tipe orangnya yang bercanda terus kayaknya tiap hari. Adaa aja yang dibuat bahan. Mulai dari berondongan pertanyaan, “Itu handuk basah yang naruh situ siapa?” sampai “Kamu masak apa, Dek, ini kok baunya gosong?” Hahaha. Tapi, kesalahan-kesalahan kecil nggak pernah jadi masalah buat kami. Jadi, diketawain aja. Dibuat lucu. Upaya saling mengenal tiap hari itu udah butuh tenaga, ya, jangan dihabisin buat meributkan hal-hal kecil. Yang mengejutkan, lucu, dan haru sudah banyak saya bahas di buku. Makanya, ayo baca bukunya! Hihi …

Ide untuk tidak marah sampai usia pernikahan mencapai 40 hari itu menarik. Apa latar belakang membuat kesepakatan tersebut? Dan kenapa 40 hari?

Itu saya sendiri dikasih tahu seorang kerabat. Jadi, dulu beliau juga diberi nasihat seperti itu, lalu berhasil mempraktikkan dan menularkannya kepada saya. Kenapa 40 hari? Karena katanya sebuah kebiasaan kalau sudah dilakukan selama 40 hari, ibarat otot, udah lemes. Udah jadi biasa. Hehehe. Jadi, kita coba 40 hari itu. 40 hari pertama mulai terbuka tuh (karakter pasangan, red.) sedikit-sedikit.

Di buku itu Mbak Apik juga bercerita bahwa Mbak dan suami punya kesepakatan untuk tidak tidur sebelum masalah yang tengah dihadapi saat itu selesai dibicarakan. Ini praktiknya ‘kan susah, Mbak? Ada tip-tip nggak biar kita bisa konsisten mengikuti ide itu?

Apa ya, nggak ada tips macem-macem, sih. Cuma saya dan suami sepakat, apa pun masalahnya, yang pertama kali jadi orientasi kita adalah sabar dan fokus ke solusi. Sabar, karena menghadapinya kalau bisa nggak perlu marah-marah, karena kita yakin yang dinilai sama Allah itu juga prosesnya. Jangan sampai kita diuji malah nggak lolos ujian ini, karena kita menjalani prosesnya dengan kondisi emosi yang buruk. Kedua, fokus di solusi untuk meminimalisir drama. Ya, pasangan mana sih yang mau berantem? Marahan sama pasangan setelah nikah itu nggak ada seru-serunya, nggak ada benefitnya. Jadi, kita fokus ke solusi, biarpun pahit prosesnya, tapi ini untuk kebaikan bersama. Saya jadi belajar buat nggak kelamaan ngambek, suami juga belajar buat lebih memahami kalau saya ngambek karena, ya, itu tadi … fokus ke solusi. Hehehe.

Pasangan suami-istri itu ‘kan perlu saling mengerti, terutama setelah punya anak. Ada pengalaman menarik tentang hal ini?

Setelah kelahiran anak pertama, saya jadi banyak belajar. Begitupun suami. Waktu itu saya merasa bahwa sayalah yang harus dipahami, apalagi sebagai ibu baru. Tapi, ternyata setelah berbulan-bulan berselang, suami saya bercerita bagaimana bingungnya dia, bagaimana rasanya dia saat menjadi ayah yang baru. Di situ saya sadar, bahwa yang beradaptasi dengan kondisi ini nggak cuma saya, tapi suami juga. Yang syok nggak cuma saya, suami juga. Yang berkorban nggak cuma saya, tapi suami juga. Saya dan suami suka sekali bercerita dan sharing di sela-sela mengasuh anak atau menjelang tidur, tentu saja dengan rules: gadget ditaruh dulu, hehehe. Dan waktu-waktu itu menjadi waktu yang berharga buat kami untuk saling bertukar pikiran atas apa yang dirasakan satu sama lain.

Pertanyaan terakhir dan mungkin banyak menjadi uneg-uneg di benak pasangan muda nih, Mbak: Ada nggak tip-tip biar disayang mertua? Apa saja?

Ini ada di buku Melangkah Searah! Hihi. Tapi, menurut saya, sebenarnya beda mertua, ya beda rumusnya. Kalau saya sih, ketika ingin disayang, kita juga harus mulai untuk menyayangi. Berkirim hadiah juga bisa menjadi salah satu upaya. Sering-sering telepon kalau jauh dari mertua. Kalau seatap, posisi pasangan juga harus tegas untuk lebih adil menempatkan kita dan pasangan. Tunjukkan bakti kita kepada mertua, sebagaimana kepada orangtua sendiri. Dan yang paling krusial adalah minta sama Allah agar hati kita dan mertua dilembutkan. Karena memang adaptasi mertua-menantu ini tantangan.

***

 

Menapaki kehidupan rumah tangga ibarat menempuh sebuah perjalanan. Kadang kita menemui jalan yang lurus, berliku, menanjak, atau menurun. Kadang bergelombang dan terjal, tapi kadang sangat mulus dan mudah dilalui.

Selama beberapa tahun Aji Nur Afifah menuliskan pengalaman rumah tangganya di www.ajinurafifah.tumblr.com dan awal tahun ini, alhamdulillah, ia telah merampungkan naskahnya yang berjudul Melangkah Searah dan diterbitkan oleh Qultummedia.

Buku ini bisa Pembaca dapatkan secara online di republikfiksi.comGramedia.com dan toko buku online yang lain, atau secara offline di GramediaGunung AgungTM Bookstore, dan toko buku offline yang lainnya. 

*Sumber foto: freepik.com

agung:
Related Post
Leave a Comment