Mengapa Kita Selalu Merasa Kurang?

Iri bisa menjangkiti siapa pun, terutama mereka yang merasa kebal darinya.

Sering kita hanya fokus menatap dan menakar karunia yang Allah berikan pada orang lain, namun tak punya waktu untuk mensyukuri apa yang kita miliki.

Ungkapan “rumput tetangga lebih hijau” kadang masih berlaku bagi kita. Benar, bagi hati yang jarang mensyukuri nikmat Allah, istilah itu adalah hal yang sangat wajar dan bahkan dapat diterima oleh akal.

Teman kita beli handphone baru, kita iri dan menginginkannya. Tetangga punya mobil baru, kita mengeluh karena Allah tidak memberikannya pada kita. Begitulah jika mata hanya untuk melihat bahagia orang lain, tak ada ruang di hati kita untuk bahagia.


Padahal, sebelum teman atau tetangga kita punya sesuatu yang baru, hidup kita nyaman-nyaman saja. Handphone kita yang tadinya tak ada masalah, tiba-tiba menjadi sesuatu yang paling usang ketika melihat handphone teman lebih bagus dari yang kita punya.

Di sisi lain, ada orang yang hidup seadanya. Bahkan untuk sekadar mendapatkan makanan di hari esok saja mereka tak yakin. Tapi, banyak dari mereka yang bersyukur walau hanya bisa makan untuk hari ini.

Anehnya, kita justru yang melupakan nikmat Allah yang tak terhingga jumlahnya. Jangankan perihal  materi, Allah padahal sudah memberi kita nikmat sehat yang tiada henti. Nikmat yang paling jarang kita syukuri, nikmat yang paling sering kita lupakan.

Tak salah kalau iri disebut penyakit yang sulit diobati. Sebab, ia bukan hanya menutup mata dari karunia Allah tapi juga menutup hati untuk mensyukurinya.

Dalam hidup ini, sejatinya untuk memperoleh bahagia itu sederhana. Terlebih soal harta, kita dianjurkan untuk melihat yang kekurangan. Selain untuk menambah syukur, itu juga membuat hati kita tergerak membantunya.

Jadi, bahagia itu seutuhnya kita yang memutuskan. Tak perlu melihat banyaknya nikmat orang lain, jika yang ada pada kita malah sering dilupakan.

Bersyukurlah.

Bahagia bukan terletak pada banyaknya harta, tapi pada hati yang selalu siap untuk mensyukurinya.

agung:
Related Post
Leave a Comment