Menjadi Orang Miskin yang Sabar atau Orang Kaya yang Bersyukur?
Rasulullah saw bersabda,
“Demi Allah, saya tidak takut dengan kemiskinan kalian, akan tetapi saya takut jikalau dunia menjadi lapang bagi kalian sebagaimana umat sebelum kalian sehingga mereka saling memperebutkannya.”
Gejala inilah yang nampak di tengah-tengah masyarakat kita. Sebuah pola hidup baru bagi sebuah masyarakat agraris. Gotong royong lambat laun pupus oleh egoisme individu yang berkembang. Kejujuran hilang ditutupi dengan kebohongan. Persaudaraan sulit ditemukan kecuali di dalamnya terdapat uang. Kesombongan menggeser sifat lugu, sopan, dan ketawadhuan. Perubahan cara pandang ini selanjutnya mengubah gaya hidup masyarakat.
Akan tetapi, jika masyarakat kita tidak berusaha untuk mencari kekayaan duniawi ini, masyarakat kita akan menjadi masyarakat bawah yang lemah dan mudah diombang-ambingkan. Rasulullah saw bersabda,
“Seorang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang lemah.”
Dengan logika sederhana pun, seseorang pasti akan membenarkan hadits ini. Logika ini membentuk sebuah asumsi, jika umat ini ingin menjadi besar sudah saatnya meninggalkan idealismenya menuju pada hal-hal yang pragmatis. Kita harus membangun rumah sakit, lembaga pendidikan, panti asuhan, dan lembaga-lembaga lain yang memiliki tujuan membantu kehidupan umat. Untuk melaksanakan hal tersebut tidak mungkin terlaksana dengan finansial yang lemah.
Beranjak dari pemikiran ini, manakah yang lebih baik antara orang miskin yang sabar dengan orang kaya yang bersyukur? Seorang idealis mungkin akan memilih poin pertama, sebaliknya orang yang pragmatis akan memilih poin yang kedua. Pertanyaan ini terlihat sederhana, tetapi tidak mudah untuk menjawabnya. Bahkan, para ulama telah berselisih pendapat mengenai hal ini. Abu Ishaq bin Syaqilan, Qadhi Abu Ya’la, dan para pengikutnya mengatakan bahwa orang miskin yang bersabar itu lebih baik. Sebaliknya, Ibnu Qutaibah dan jamaahnya berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih baik.
Jika kita runut ke belakang, kita akan temukan orang-orang miskin yang sabar, bahkan yang berpredikat nabi sekalipun. Mereka adalah Isa bin Maryam as, Yahya bin Zakaria as, Ali bin Abi Thalib, Abi Dzar Al-Ghifari, Mush’ab bin Umair, dan Salman AI-Farisi. Sedangkan orang-orang kaya yang bersyukur, di antaranya Ibrahim as, Ayub as, Dawud as, Sulaiman as, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubeir, Sa’ad bin Muadz ra, dan masih banyak lagi. Lalu mana yang paling baik?
Kalau kebenaran kita sandarkan hanya kepada akal, jawaban tersebut tidak akan ditemukan. Tetapi jika standar kebenaran adalah Al-Qur`an, jawaban tersebut sangat jelas. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian” (QS Al-Hujurat: 13). Lalu, seperti apa takwa yang diinginkan Islam? Kalau kita kembali runut dalam Al-Qur’an jawabannya akan semakin terlihat. Allah SWT berfirman,
“Maka bertakwalah sesuai kadar kemampuan kalian.” (QS At-Taghabun: 16)
Artinya, stressing point dari lafal “takwa” adalah proses, dalam hal ini adalah usaha. Yakni, usaha seorang hamba untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (QS AI-Hasr: 7).
Artinya, kebaikan bukan terletak pada kaya-miskinnya, tetapi lebih pada syukur dan sabarnya. Bertolak dari hal ini maka kita akan temukan golongan ketiga yang sangat sulit untuk dicari pada zaman ini. Golongan ini mendapat dua predikat sekaligus; miskin dan kaya. Karena kesederhanaannya golongan ini terlihat miskin, di sisi lain merupakan golongan orang yang berada dengan pendapatan yang melimpah. Dia adalah Nabi kita Muhammad saw. Wallahu a’lam.
* Artikel ini dikutip dari buku “Menjadi Pemenang Saat Diuji Allah” yang ditulis oleh Riri Atmajaya (QultumMedia: 2010).
No Comments