Sepucuk Surat Tentang Cinta dan Kenangan

Semua orang tahu, hati itu banyak maunya. Kalian juga mengerti, bukan? Bukan cuma banyak mau, tapi juga suka berubah-ubah. Saat hujan maunya panas, katanya ada janji mau bertemu seseorang. Lain waktu saat panas maunya hujan, gak tahan kalau gerah kelamaan.

Mungkin karena suka berubah-ubah itu, hati disebut hati. Atau kalbu, istilah Arabnya “qolbu”, yang seakar dengan kata “qollaba”, artinya berbolak-balik, berganti-ganti, berubah-ubah. Itu sebabnya, di antara banyak karunia Tuhan di muka bumi ini, hati yang tenang adalah salah satu yang paling berharga.

 

Obyektif Saat Mengenang

Jika kita paham karakter hati yang seperti itu, kita akan segera menginsyafi diri sendiri, kapan pun ada keinginan menggebu-gebu di dalamnya. Ya kalau keinginan itu sepele dan kita ada keleluasaan untuk mewujudkannya mungkin gak masalah. Kalau gak?

Mau memaksakan diri, kita sendiri nanti yang kerepotan. Apalagi kalau keinginan itu berhubungan dengan seseorang di masa lalu. Orang yang pernah dekat dengan kita, yang kita kira teman perjalanan di masa depan, alias jodoh kita –tapi ternyata bukan.

Mengenang gak akan jadi masalah besar kalau saat melakukannya pikiran kita sadar bahwa saat itu kita cuma ingin mengingat yang indah-indah saja tentangnya, meski hati turut meromantisasinya. Nyatanya, kita sering kewalahan dengan hal ini. Sebab, yang terjadi adalah manis dan pahit yang kita telan sekaligus: terkenang hari-hari indah bersamanya sekaligus teringat malam-malam penuh airmata karenanya. Entah kita sengaja atau gak.

Mungkin memang gak semudah itu bersikap obyektif saat mengenang. Hmm, ini frasa yang gak biasa. Obyektif saat mengenang? Bukankah setiap mengenang kita cenderung subyektif? Apa pun itu, kenangan sendiri memang ibarat pisau bermata ganda. Bisa menyenangkan, bisa pula menyakitkan, meski keduanya sama-sama sementara.

Jadi, jauhkan keinginan untuk kembali ke masa lalu setiap kita teringat seseorang yang dulu pernah menemani hari-hari bahagia kita, jika itu lahir dari buah kerinduan padanya. Kita sama-sama tahu, masa lalu gak cuma sekeranjang kenangan indah bersamanya, tapi juga hari-hari yang pahit nan getir karenanya.

 

Too Good To Be True

Seorang teman pernah bercerita tentang salah seorang mantannya, yang menurutnya “mantan terindah”. Berbagai pujian keluar dari mulutnya, di samping cerita tentang momen-momen bahagia sewaktu masih bersamanya. Ketika aku tanya, apa dia mau nyambung lagi dengan mantannya itu, dia menggeleng, meski keduanya masih sama-sama sendiri.

Temanku itu, betapapun kulihat wajahnya cerah dan mulutnya berbuih-buih menceritakan kenangan indah tentang sang mantan, ia menyadari satu hal: apa yang ia ceritakan hanyalah kenangan. Dan yang namanya kenangan itu gak lebih dari kenyataan di masa lalu, bukan masa sekarang.

Temanku tersenyum geli sewaktu kutanyakan hal yang sama, lalu berkata bahwa itu ‘kan dulu. Ada senyum getir terlihat di wajahnya. Dan aku, sebagai kawan baiknya, tahu itu pasti karena ingatannya tentang sesuatu yang lain. Aku gak perlu bertanya apa itu: tentu saja luka yang ditinggalkan oleh sang mantan.

Terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Begitu aku mencoba menyimpulkan isi hatinya. Sang mantan adalah laki-laki idaman, pangeran di hatinya, tapi dalam dua masa saja. Pertama, saat watak asli dan kebrengsekannya belum terkuak, dan kedua, saat semua telah usai dan ia gak lebih dari sebuah kenangan.

Banyak yang bilang kalau luka, juga tawa, akan terhapus oleh waktu. Pelan-pelan, bertahap. Mungkin maksudnya terhapus jika ada pengalaman baru yang bertolak belakang dengannya. Kalau setelah terluka kita gak juga menemukan kebahagiaan, apalagi jika luka itu menjadi sebab munculnya luka-luka yang lain, ya mana mungkin kita bisa lupa dengannya.

Karena setiap luka itu mendewasakan, maka belajar terhadapnya adalah keharusan. Tujuannya tentu agar kita gak kembali terluka, apalagi karena “mata pisau” yang sama. Tapi, karena waktu bisa membuat kita lupa terhadap luka itu, maka kita perlu mengabadikan kesadaran tentang rasa sakit akibat luka itu. Bukan agar kita selamanya menderita, tapi agar kita gak berhenti belajar.

Surat Cinta Untukku

Buku “Sebatas Pernah Sekadar Singgah” ini adalah sebuah catatan tentang luka itu. Tentang hari-hari penuh senyum, tawa, keyakinan, dan optimisme, yang kemudian ambyar gara-gara kenyataan yang gak mau berkompromi dengan harapan, dan tentu saja tentang nama (atau nama-nama?) yang sebatas pernah membersamaiku dan sekadar singgah di hati.

Ada banyak potongan cerita yang kutulis di buku ini. Semuanya kumaksudkan sebagai pengingat tentang apa yang pernah kurasakan di masa lalu. Agar di masa mendatang, luka yang sama gak perlu lagi kurasakan. Tapi, alih-alih menuliskannya sebagai catatan pendek laiknya resep masakan, aku menuangkannya bak surat-surat kepada seseorang di masa depan –aku sendiri.

Meski terdengar sangat personal, aku ingin surat-surat ini bisa dibaca oleh Teman-temanku. Sebab aku yakin, di dunia yang katanya selebar daun kelor ini, banyak di antara mereka yang pernah ada di masa-masa sulit yang sama dan harus berjibaku dengan perasaan yang sama, entah rasa sayang, cinta, cemburu, atau marah.

Aku juga ingin mengajak Teman-teman “menumpang” mesin waktu, sekadar untuk bolak-balik mengunjungi masa lalu. Bukan untuk menetap, tentunya, tapi sekadar menengok. Mengingat tawa yang pernah ada, mengenang kebahagiaan yang pernah kami bagi berdua, dan mengambil pelajaran dari luka yang meneteskan airmata.

 

Salam,

@Intanorii

***

Buku Sebatas Pernah Sekadar Singgah akan segera terbit bulan Juli besok. Teman-teman yang ingin memilikinya bisa mengikuti Pre Order (PO) di tanggal yang akan disampaikan dalam minggu-minggu ini. Teknis pemesanan, periode PO, bonus dan benefit, serta harga buku akan diinformasikan melalui akun media sosial penulis.

agung:
Related Post
Leave a Comment