Suamiku Bukan Tipeku!
Zaman SMA dahulu, bayanganku untuk laki-laki yang akan menjadi suamiku adalah cerdas, laki-laki yang memiliki kulit bersih, wajah ramah, dan dibingkai kacamata. Stereotip itu karena aku berpatokan pada idola komik-komik Jepang. Yah, masa-masa itu aku masih gandrung dengan tokoh komik.
Memasuki masa kuliah sudut pandangku tidak berubah. Masih dengan ciri-ciri yang sama, tetapi ditambah harus saleh. Semester per semester aku lalui, pandangan tersebut pelan-pelan luntur. Ternyata, pandanganku untuk seorang laki-laki yang kelak akan menjadi pendamping hidup haruslah dibingkai kacamata berubah menjadi: saleh adalah syarat mutlak yang tak bisa diganggu gugat. Ganteng, ya setidaknya enak dipandang mata. Cerdas, harus! Karena nggak enak kalau diajak ngobrol nggak nyambung dikarenakan tulalit. Melek teknologi! Iya dong, perlu, karena kalau hanya berkutat di masjid dan diperpustakaan, sekhawatir jadi manusia antik nantinya, yang susah untuk bersosialisasi dalam masyarakat. Struggle! Ini karena arus zaman yang semakin deras maka seseorang yang kelak menjadi pendampingku harus bisa bertahan dan melaju melawan arus zaman yang tidak sesuai dengan hati nurani. Romantis! Ah, terkesah berlebihan yah untuk ciri yang satu ini? Tetapi membaca sirah Rasulullah dengan perilaku beliau terhadap istri-istrinya itu adalah hal yang romantis menurutku. Lomba lari dengan Aisyah, menjadikan Khadijah adalah satu-satunya istri yang tidak ‘dimadu’, memperlakukan istri-istrinya sesuai dengan karakternya. Ya, Rasulullah juga romantis, dan mengapa tidak jika saya memimpikan hal yang sama? Walaupun pasti tidak ada yang sesempurna beliau.
Saya memimpikan laki-laki pendamping saya membangunkan dengan mesra ketika akan tahajud dengan sebuah ciuman di kening. Ah, betapa indahnya! Sebuah keromantisan dikemas dengan nilai-nilai kesalehan seorang hamba kepada Rabbnya.
Ternyata, banyak juga ya kriteriaku? Memang siapa aku sehingga bisa mematok calon suamiku sebegitu banyak kriteria? Dengan hal-hal yang tidak mudah pula! Sombong sekali ternyata kriteria yang kubuat, seolah aku adalah perempuan luar biasa yang pantas menjadikan orang lain sesuai kriteriaku.
Akhirnya, karena khawatir dengan penetapan kriteria itu terkategori sombong, akhirnya aku ringkas sedikit. Kriteria yang aku ringkas adalah cerdas memaknai hidup dan dewasa mentarbiyah diri. Sesimpel itu, tapi memang maknanya termasuk berat untuk beberapa yang maju.
Dan, ketika aku masih “keukeuh” dengan kriteria tersebut, ternyata ada seorang laki-laki yang merasa memiliki kriteria yang kupegang! Meskipun kategorinya baru dibilang dalam masa belajar untuk menjadi seseorang yang lebih baik.
Ah, membimbing seseorang yang akan menjadi imamku? Rasanya memang sangat berat. Terlalu lelah aku menghadapi hidup yang selalu menuntutku untuk menjadi yang terbaik dan menjadi pedoman orang lain, terlalu lelah rasanya menuntut untuk selalu tegar dalam hidup ini. Selain itu, ketika menilai secara langsung dari percakapan kami dan rekomendasi teman-teman yang lain, rasanya dia tidak masuk dalam kriteriaku…!
Kini, laki-laki yang bukan tipeku itu sudah tiga tahun lebih menjadi suamiku. Dia memang sedang belajar membaca Al-Qur`an ketika menikah denganku, belajar lagu untuk melantunkan ayat-ayat-Nya yang indah, belajar untuk membaca dengan tartil. Aku ternyata salah sangka, lantunan ayat Al-Qur`annya dan hafalannya membuatku pertama kali jatuh cinta pada malam pertama kami menikah!
Kini, laki-laki yang bukan tipeku ini, menjadi penyeimbangku dalam hidup ini. Aku yang selalu berpikir terlalu global, terbantu olehnya yang berpikir lebih realistis dan detail. Laki-laki yang dulu bukan tipeku ini, memang berbeda sekali dalam memandang hidup. Kesederhanaan pandangannya membuatku terasa mudah dalam melangkahkan kaki menjalani hidup ini.
Dia yang berpikir tidak romantis dan terasa tidak nyambung ini adalah laki-laki yang rajin memijatku ketika sedang hamil dulu, mencuci baju merupakan hobinya, merapikan rumah adalah kebiasaannya, mencuci piring tak luput dari kesehariannya. Dia juga dengan senang hati mengasuh, bermain, dan mengajar anak kami, dan kini dia menjadi orangtua favorit anak perempuanku. Aku pun kalah olehnya.
Dia yang dulu bukan tipeku ini, bangunnya selalu lebih awal dariku. Membangunkanku dengan penuh sayang, dan tidak pernah memarahiku secara langsung, apalagi bermain kasar. Lembut memperlakukanku sebagai perempuan dan sangat menyayangi ibunya yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Seseorang yang dulu kupikir bukan tipeku ini, kini sedang berusaha menambah kegiatannya untuk membantu sesamanya, karena dia memiliki moto hidup, sebaik-baik manusia adalah yang banyak manfaatnya untuk orang lain. Dia yang dulu kucari-cari di mana kelebihan fisiknya yang akan membuatku jatuh cinta. Kini adalah seseorang yang menjadi lelaki terindahku. Tidak indah di dalam lensa sebuah kamera, tetapi selalu indah di mataku karena dia adalah manusia real yang hidup bersamaku.
Untuk hal tersebut, sering kali aku bersyukur. Karena itulah yang membuatku jatuh cinta lagi dan lagi kepada suamiku. Yang dulu kupikir orang berkacamata dengan kulit bersih dan telihat cerdas. Tapi kini, orang yang menjadi pendampingku sekarang memang tidak perlu memakai kacamata untuk terlihat cerdas, tapi cukup dengan menyampaikan sesuatu dengan cerdas untuk konsisten dalam perkataan dan perbuatan, yang memiliki mata hati yang tajam dalam kebutuhan istrinya, yang memiliki kulit bersih walaupun tidak putih karena rajin merawatnya.
Ah, ternyata Sang Rabbul Izzati memberiku yang kubutuhkan, bukan yang kuinginkan!
Duhai, laki-laki yang dulu bukan kriteriaku, tetapi kini menjadi laki-laki yang selalu mengulurkan tangannya dalam ketertatihanku! Pada sisa usiamu kini, masih terbentang luas jalan untuk selalu menjadi seseorang yang selalu lebih baik daripada sebelumnya. Masih banyak PR yang harus segera dikerjakan, karena umat membutuhkan bantuan kita. Selalu ada jalan untuk kita menambah kebiasaan-kebiasaan baik dalam hari-hari yang akan kita jalani.
Semoga langkahmu dalam menjadi imamku selalu dalam jalan yang di ridhai-Nya. Selalu dalam menjaga sunah-sunah Rasulullah yang akan menunjukkan jalan kita ke dalam kesenangan. Tidak semata-mata di dunia melainkan di kampung akhirat kelak.
Allahumma aamiin. Semoga Allah selalu menjaga kita dalam bingkai cinta-Nya yang tidak pernah lekang oleh waktu. Karena itu adalah pijakan awal kita dipersatukan oleh-Nya. Semoga karena-Nya-lah kita selalu saling jatuh cinta, oleh kelemahan dan kelebihan kita masing-masing.
Demikianlah sepenggal “rahasia cinta” yang diberikan Allah SWT bagi hamba-Nya. Banyak hal yang tidak terjangkau akal pikiran kita tentang cinta dari idealisme yang kita bangun sebelumnya. Namun, bagi Allah semuanya menjadi mudah untuk menentukan dan memberikan yang terbaik bagi kita. Masih banyak lagi kisah lainnya yang tidak kalah menariknya dari kisi-kisi cinta yang dialami anak Adam.
Simak selengkapnya di buku Sungguh, Aku Mencintaimu Karena Allah buah dari pengalaman hidup dan hikmah Pipiet Senja dan kawan-kawan. Buku terbitan QultumMedia ini sangat membantu Anda menemukan cinta sejati yang selama ini diidam-idamkan dan masih berupa misteri.
No Comments