Aku Pernah Kecewa
Aku pernah kecewa…
Aku pernah jatuh cinta melebihi cintaku pada diriku sendiri. Aku pernah mempercayai lebih dari mempercayai diri sendiri. Aku pernah merasa memiliki pintu kebahagiaan yang selalu aku harap-harapkan.
Aku pernah melalui hari yang entah bagaimana melahirkan hubungan yang lantas menjelma komitmen satu sama lain. Padahal, agama tak mengizinkannya, negara pun tak mengesahkannya. Tak ada catatan, hanya perjanjian dua lisan tanpa ada jaminan.
Dan benar saja, kesepakatan yang terucap dari lisan manusia tak sepenuhnya dapat dijaga dengan sempurna.
Tapi, semua itu sudah berlalu. Hilang. Lenyap. Entah dengan apa dan bagaimana ceritanya, yang aku tahu hanya duka yang tertinggal, air mata yang mengering, dan kepingan hati yang terserak.
Ya, aku pernah kecewa…
Pada satu titik dalam hidupku, aku menemukan ketenangan yang berbeda dari biasanya. Sederhana, aku mendapatkannya melalui sujud yang memang tak biasa aku lakukan. Waktunya tengah malam, di tempat yang hening, dengan kesunyian yang luar biasa. Entah mengapa nuraniku menuntun untuk menyegarkan tubuh dengan air wudhu dan bersimpuh pada Dia yang selalu mendengarkan segala keluh.
Aku tenang, aku nyaman, aku menangis sejadi-jadinya. Bukan menangisi luka yang sudah terlewat. Tapi menyesali langkah yang tak sempurna dalam mematuhi-Nya.
Aku lupa bahwa berharap selain pada-Nya hanya meninggalkan luka.
Aku lupa bahwa mencintai siapa pun atau apa pun dengan berlebihan tak pernah ada baiknya.
Aku juga lupa bahwa ada Dia yang tak pernah meninggalkanku, pintu kebahagiaanku, dan sebaik-baiknya pengharapanku.
Sekali lagi, aku pernah kecewa…
Tapi, aku bersyukur telah berhasil melaluinya. Meski dengan tertatih, meski rasa pesimis menghantui, karena tak yakin akan berhasil mengikhlaskannya. But see, Allah membantuku. Allah ingin menyelamatkanku dari dosa besar, dari kesalahan yang tak seharusnya aku lakukan lagi.
Allah ingin aku menitipkan hati pada orang yang baik, seseorang yang tak hanya menawarkan “kesepakatan lisan” tapi juga mempertanggungjawabkannya di hadapan keluarga, negara, agama, dan semesta.
Karena aku percaya, setiap rasa pasti ada batasnya, dan setiap kita pasti ada jodohnya.
Janji Allah tak mungkin diingkari, bukan?
Oleh: Arum Listyowati Suprobo (penulis “Setiap Kita Ada Batasnya, Setiap Kita Ada Jodohnya”)
No Comments