Hawa Nafsu dan Penyakit Hati yang Ditimbulkannya
Puasa adalah ibadah yang sedikit berbeda dibandingkan ibadah-ibadah yang lainnya. Kalau orang yang sedang mengerjakan salat, zakat, haji, atau ibadah lain bisa mudah dikenali maka tidak demikian dengan mereka yang sedang berpuasa. Orang yang sedang berpuasa hampir-hampir tak ada bedanya dengan orang yang tak berpuasa.
Perbedaan ini ternyata menempatkan puasa sebagai ibadah yang utama, sebab orang yang berpuasa lebih mudah untuk menjalankan ibadah tersebut sepenuh hati. Mengapa demikian? Karena mengerjakan ibadah yang tak diketahui oleh orang lain hanya membuka sedikit celah di hati kita untuk riya’, ‘ujub, atau sombong.
Dalam kaitan dengan hal ini, Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits qudsi, “Semua amal anak Adam akan dilipatgandakan kebaikannya sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan memberikan pahalanya pada orang yang melakukannya,” (HR. Bukhari).
Lawan Hawa Nafsumu Sendiri!
Mengapa riya’, ‘ujub, dan sombong tampak sangat merugikan dan karenanya harus kita hindari?
Riya’ artinya hasrat untuk dilihat oleh orang lain dengan perasaan kagum. Ini adalah salah satu gelagat yang menunjukkan kotornya hati sekaligus rendahnya diri kita di sisi Allah SWT. Meski manusiawi dan biasa tebersit di hati, ternyata sikap hati ini sangat merugikan. Amal yang kita kerjakan sehari-semalam bisa rusak karenanya.
Mengapa bisa demikian? Karena riya’ akan mengacaukan niat kita yang sebelumnya hanya karena Allah Ta’ala menjadi tercampur dengan tujuan-tujuan yang lain, yang di antaranya adalah hasrat untuk dikagumi oleh orang lain tadi. Sehingga secara tak langsung, diam-diam, dan tanpa kita sadari, kita menyekutukan (asy syirk) Allah dalam ibadah kita.
‘Ujub adalah istilah untuk menyebut rasa bangga terhadap diri sendiri. Sikap ini lebih lembut dan tak terasa dibandingkan riya’. Orang yang melakukan amal baik boleh jadi niatnya tak goyah, yakni karena Allah semata, bukan mencari perhatian orang lain. Tapi boleh jadi ia mengeram rasa bangga di dalam hatinya terhadap dirinya sendiri.
Karena rajin ke masjid, ia merasa sudah bertakwa pada Allah. Karena bacaan Al-Quran-nya lancar dan merdu, ia merasa lebih baik ketimbang teman-temannya. Tentu saja pergi ke masjid dan lancar membaca Al-Quran adalah sesuatu yang positif, hanya saja menyertai amal baik itu dengan ‘ujub akan membuat pahala kita menguap sia-sia.
Yang terakhir adalah sombong. Berbeda dengan riya’ dan ‘ujub yang biasanya hanya berupa gelagat hati, sombong seringkali mewujud dalam kata-kata dan perbuatan. Sombong adalah sikap yang rendah dan sangat dibenci dalam Islam, sebab pelakunya merasa dirinya yang paling tahu, paling suci, dan singkat kata paling baik.
Padahal, Allah SWT tak menjadikan seseorang mengerti, bertakwa, dan berbagai karakter positif lainnya kecuali Dia juga menciptakan manusia-manusia lain yang lebih baik darinya. “Wa fawqa kulli dzii ‘ilmin ‘aliim, dan di atas setiap orang yang luas ilmunya ada orang lain yang lebih luas lagi ilmunya,” firman Allah dalam Surah Yusuf ayat 76.
Hawa Nafsu: Biang Keladi Munculnya Penyakit Hati
Ketiga ‘penyakit hati’ itu, yang sayangnya tak banyak disadari oleh manusia, adalah akar dari segala kerusakan. Keutamaan orang alim menjadi sirna gara-gara ketiganya. Pahala dan keberkahan seorang abid musnah tanpa sisa karena ketiganya. Pertanyaan kita, siapa yang paling bertanggung jawab bagi munculnya tiga ‘penyakit’ itu?
Hawa nafsu.
Hawa nafsu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, adalah musuh terbesar kita. Lebih tepatnya, ‘musuh dalam selimut’. Boleh saja kita mengira musuh kita adalah orang-orang kafir dan mereka yang zalim, tapi kekuatan terbesar kita seharusnya lebih banyak dicurahkan untuk melawan yang namanya hawa nafsu ini.
“Kita sudah selesai dengan perang kecil ini,” ujar Rasulullah setelah memenangkan Perang Badar, “dan akan segera menyongsong perang yang lebih besar.” Para sahabat terkejut, bagaimana bisa perang sehebat itu disebut perang kecil? Bagaimana pula rupa perang besar yang dimaksud oleh Rasulullah? Apa mungkin umat Islam memenangkannya?
“Perang apa maksudmu, ya Rasul?” tanya salah seorang sahabat.
“Perang terhadap hawa nafsu,” jawab beliau, singkat.
Hawa nafsu inilah yang kerap menipu kita, dengan menanamkan riya’, ‘ujub, dan sombong di dalam hati kita. Ia membuat kesan seolah amal baik yang kita kerjakan adalah wujud ketaatan pada perintah Allah dan Rasulullah, padahal sebenarnya itu tak lebih ekspresi dari hasrat tersamar kita, yakni keinginan untuk dikagumi dan dipuja-puji oleh sesama.
“Inna akhwafa maa akhaafu ‘alaa ummatii ar riyaa’u wasy syahwah al khafiyyah, sesungguhnya hal yang paling kutakutkan dilakukan oleh umatku adalah riya’ dan kepentingan yang tersamar.” Begitu kata Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majjah.
Alhasil, hidup kita sejatinya adalah pergumulan yang tak pernah selesai, melawan hawa nafsu, atau ego kita sendiri. Kapan pun kita merasa aman darinya, saat itulah sebenarnya kita sedang berada dalam cengkeramannya. Nah, di bulan Ramadan ini, mari kita mengangkat senjata dan maju ke medan perang besar sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah, yaitu perang melawan hawa nafsu.
Semoga di bulan Syawal nanti, di hari kita mengumandangkan takbir Idul Fitri, kita benar-benar menjadi pribadi yang suci. Sebab seperti sering kita dengar, Idul Fitri bukan untuk orang-orang yang hanya bisa membanggakan pakaian mewah tapi untuk mereka yang pribadinya semakin baik dan ketaatannya bertambah.
*Gambar diperoleh dari https://justbetweenus.org