cerita Archives - Qultum Media
Qultummedia adalah penerbit buku islami
Qultummedia, qultum, novel islami, ibadah, buku, motivasi, pengembangan diri,
563
archive,tag,tag-cerita,tag-563,theme-stockholm,woocommerce-no-js,ajax_fade,page_not_loaded,,select-child-theme-ver-1.0.0,select-theme-ver-4.2,menu-animation-line-through,wpb-js-composer js-comp-ver-7.4,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-30952

Setelah Kau Pergi: Sepucuk Surat Tentang Resah Hati

Orang yang kehilangan akan menempuh jalan baru dalam hidupnya. Menata semuanya dari awal: menyembuhkan luka, berdamai dengan diri, mungkin mengutarakan isi hati yang belum tersampaikan.

***

Hai, apa kabar?

Semoga saat ini kau baik-baik saja, sebagaimana aku yang bisa tersenyum menuliskan surat ini untukmu.

Sudah lama semenjak kita berpisah, kuharap tak ada yang berubah darimu. Kau tetap menjadi wanita yang penuh kasih. Perhatian pada lelaki yang berhasil menyita hatimu.

Sayangnya, lelaki itu bukan diriku.

Masih terbayang olehku raut wajahmu. Hari ketika kau memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita.

Saat itu aku paham alasanmu pergi. Kau ingin meniadakan siapa saja yang mengalihkan fokusmu untuk mengejar mimpi. Tak ada pilihan lain untukku kecuali mengiyakan. Bodohnya aku, sedikit pun aku tak merasa kau sedang berdusta.

          Baca juga: Setelah Dia Pergi: Sebuah Percakapan dengan Hati

Beberapa hari berlalu. Aku tak bisa membohongi diri sendiri. Kehilanganmu telah membuat hidupku berhenti sesaat. Meratapi kegagalan terbesar yang pernah kualami: menjaga wanita yang kucintai.

Namun, kesedihan itu menjadi tak berarti setelah aku tahu semuanya. Ketika aku mulai menangkap maksudmu menjauh. Ya, ada lelaki lain yang kau dambakan. Aku telat menyadari itu.

Kini, aku ingin memberitahumu beberapa hal. Mungkin kau merasa bersalah atas hal ini. Mungkin kau akan meminta maaf sebanyak-banyaknya jika kita tak sengaja bertemu. Jangan khawatir, semua luka yang kau beri sudah kutangani.

Justru aku berterima kasih padamu dan keputusan yang kau ambil. Jika saja aku tak mengalaminya, hatiku takkan sekuat hari ini. Aku percaya, hidup punya banyak cara untuk mendewasakan seseorang. Dan, aku mendapat kesempatan itu melalui kepergianmu.

Kalau boleh mengutarakan rasa kesal, aku tak akan mengarahkannya padamu. Melainkan pada diriku yang dulu: lelaki lemah yang mudah dipermainkan cinta.

Sekali lagi, kepergianmu membawaku ke jalan yang belum pernah kutempuh. Jalan yang hanya bisa dilewati oleh mereka yang berhasil merelakan.

          Baca juga: Berdamai dengan Patah Hati

Sebelum menutup surat ini, izinkan aku menyampaikan pesan terakhir. Untukmu atau siapa pun yang membacanya.

“Lihat, aku adalah bukti bahwa seseorang pasti dapat bangkit dari keterpurukan. Aku adalah kenyataan yang memberi tahu bahwa kehilangan bukan masalah terbesar dalam hidup. Jika orang yang patah hati saja bisa kembali tersenyum, bagaimana denganmu yang hatinya baik-baik saja?”

***

Separah apa pun hati kita tersakiti, waktu menjadi penawar yang paling bisa diandalkan, paling tidak membantu kita sedikit mengabaikan sakitnya. Di sini, berlalunya waktu adalah anugerah yang jarang kita sadari, apalagi kita syukuri.

Kita tak pernah berharap kehilangan apa pun. Tapi, hidup selalu punya jalan ceritanya sendiri. Sekuat apa pun kita mengendalikannya, ada saatnya kita harus tunduk dan berlutut: pada tikungan jalan hidup yang tak pernah kita perkirakan.

Ya, di situlah harapan kadang memudar, seiring kenyataan yang bertolak belakang. Sebagian orang kemudian menghabiskan waktunya dengan meratapi takdir, sebagian melakukan perjalanan yang tak benar-benar memiliki tujuan, sebagian lagi mencari pelampiasan dengan mencari pengganti.

Buku Setelah Dia Pergi telah rilis bulan ini. Akhir Mei 2019 ini, buku pertama Dedy Chandra H. ini sudah bisa Pembaca dapatkan di toko-toko buku se-Indonesia. Saat ini, penulis tengah membuka Pre-Order melalui akun @tersenyumlah.semesta, berikut link-nya
bit.ly/pesanbukusdp

 

Sumber gambar: pixabay.com

cinta yang hakiki impian setiap manusia

Aku Pernah Kecewa

Aku pernah kecewa…

Aku pernah jatuh cinta melebihi cintaku pada diriku sendiri. Aku pernah mempercayai lebih dari mempercayai diri sendiri. Aku pernah merasa memiliki pintu kebahagiaan yang selalu aku harap-harapkan.

Aku pernah melalui hari yang entah bagaimana melahirkan hubungan yang lantas menjelma komitmen satu sama lain. Padahal, agama tak mengizinkannya, negara pun tak mengesahkannya. Tak ada catatan, hanya perjanjian dua lisan tanpa ada jaminan.

Dan benar saja, kesepakatan yang terucap dari lisan manusia tak sepenuhnya dapat dijaga dengan sempurna.

Tapi, semua itu sudah berlalu. Hilang. Lenyap. Entah dengan apa dan bagaimana ceritanya, yang aku tahu hanya duka yang tertinggal, air mata yang mengering, dan kepingan hati yang terserak.

Ya, aku pernah kecewa…

Pada satu titik dalam hidupku, aku menemukan ketenangan yang berbeda dari biasanya. Sederhana, aku mendapatkannya melalui sujud yang memang tak biasa aku lakukan. Waktunya tengah malam, di tempat yang hening, dengan kesunyian yang luar biasa. Entah mengapa nuraniku menuntun untuk menyegarkan tubuh dengan air wudhu dan bersimpuh pada Dia yang selalu mendengarkan segala keluh.

Aku tenang, aku nyaman, aku menangis sejadi-jadinya. Bukan menangisi luka yang sudah terlewat. Tapi menyesali langkah yang tak sempurna dalam mematuhi-Nya.

Aku lupa bahwa berharap selain pada-Nya hanya meninggalkan luka.

Aku lupa bahwa mencintai siapa pun atau apa pun dengan berlebihan tak pernah ada baiknya.

Aku juga lupa bahwa ada Dia yang tak pernah meninggalkanku, pintu kebahagiaanku, dan sebaik-baiknya pengharapanku.

Sekali lagi, aku pernah kecewa…

Tapi, aku bersyukur telah berhasil melaluinya. Meski dengan tertatih, meski rasa pesimis menghantui, karena tak yakin akan berhasil mengikhlaskannya. But see, Allah membantuku. Allah ingin menyelamatkanku dari dosa besar, dari kesalahan yang tak seharusnya aku lakukan lagi.

Allah ingin aku menitipkan hati pada orang yang baik, seseorang yang tak hanya menawarkan “kesepakatan lisan” tapi juga mempertanggungjawabkannya di hadapan keluarga, negara, agama, dan semesta.

Karena aku percaya, setiap rasa pasti ada batasnya, dan setiap kita pasti ada jodohnya.

Janji Allah tak mungkin diingkari, bukan?

 

Oleh: Arum Listyowati Suprobo (penulis “Setiap Kita Ada Batasnya, Setiap Kita Ada Jodohnya”)