kenangan Archives - Qultum Media
Qultummedia adalah penerbit buku islami
Qultummedia, qultum, novel islami, ibadah, buku, motivasi, pengembangan diri,
652
archive,tag,tag-kenangan,tag-652,theme-stockholm,woocommerce-no-js,ajax_fade,page_not_loaded,,select-child-theme-ver-1.0.0,select-theme-ver-4.2,menu-animation-line-through,wpb-js-composer js-comp-ver-7.4,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-30952

Sepucuk Surat Tentang Cinta dan Kenangan

Semua orang tahu, hati itu banyak maunya. Kalian juga mengerti, bukan? Bukan cuma banyak mau, tapi juga suka berubah-ubah. Saat hujan maunya panas, katanya ada janji mau bertemu seseorang. Lain waktu saat panas maunya hujan, gak tahan kalau gerah kelamaan.

Mungkin karena suka berubah-ubah itu, hati disebut hati. Atau kalbu, istilah Arabnya “qolbu”, yang seakar dengan kata “qollaba”, artinya berbolak-balik, berganti-ganti, berubah-ubah. Itu sebabnya, di antara banyak karunia Tuhan di muka bumi ini, hati yang tenang adalah salah satu yang paling berharga.

 

Obyektif Saat Mengenang

Jika kita paham karakter hati yang seperti itu, kita akan segera menginsyafi diri sendiri, kapan pun ada keinginan menggebu-gebu di dalamnya. Ya kalau keinginan itu sepele dan kita ada keleluasaan untuk mewujudkannya mungkin gak masalah. Kalau gak?

Mau memaksakan diri, kita sendiri nanti yang kerepotan. Apalagi kalau keinginan itu berhubungan dengan seseorang di masa lalu. Orang yang pernah dekat dengan kita, yang kita kira teman perjalanan di masa depan, alias jodoh kita –tapi ternyata bukan.

Mengenang gak akan jadi masalah besar kalau saat melakukannya pikiran kita sadar bahwa saat itu kita cuma ingin mengingat yang indah-indah saja tentangnya, meski hati turut meromantisasinya. Nyatanya, kita sering kewalahan dengan hal ini. Sebab, yang terjadi adalah manis dan pahit yang kita telan sekaligus: terkenang hari-hari indah bersamanya sekaligus teringat malam-malam penuh airmata karenanya. Entah kita sengaja atau gak.

Mungkin memang gak semudah itu bersikap obyektif saat mengenang. Hmm, ini frasa yang gak biasa. Obyektif saat mengenang? Bukankah setiap mengenang kita cenderung subyektif? Apa pun itu, kenangan sendiri memang ibarat pisau bermata ganda. Bisa menyenangkan, bisa pula menyakitkan, meski keduanya sama-sama sementara.

Jadi, jauhkan keinginan untuk kembali ke masa lalu setiap kita teringat seseorang yang dulu pernah menemani hari-hari bahagia kita, jika itu lahir dari buah kerinduan padanya. Kita sama-sama tahu, masa lalu gak cuma sekeranjang kenangan indah bersamanya, tapi juga hari-hari yang pahit nan getir karenanya.

 

Too Good To Be True

Seorang teman pernah bercerita tentang salah seorang mantannya, yang menurutnya “mantan terindah”. Berbagai pujian keluar dari mulutnya, di samping cerita tentang momen-momen bahagia sewaktu masih bersamanya. Ketika aku tanya, apa dia mau nyambung lagi dengan mantannya itu, dia menggeleng, meski keduanya masih sama-sama sendiri.

Temanku itu, betapapun kulihat wajahnya cerah dan mulutnya berbuih-buih menceritakan kenangan indah tentang sang mantan, ia menyadari satu hal: apa yang ia ceritakan hanyalah kenangan. Dan yang namanya kenangan itu gak lebih dari kenyataan di masa lalu, bukan masa sekarang.

Temanku tersenyum geli sewaktu kutanyakan hal yang sama, lalu berkata bahwa itu ‘kan dulu. Ada senyum getir terlihat di wajahnya. Dan aku, sebagai kawan baiknya, tahu itu pasti karena ingatannya tentang sesuatu yang lain. Aku gak perlu bertanya apa itu: tentu saja luka yang ditinggalkan oleh sang mantan.

Terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Begitu aku mencoba menyimpulkan isi hatinya. Sang mantan adalah laki-laki idaman, pangeran di hatinya, tapi dalam dua masa saja. Pertama, saat watak asli dan kebrengsekannya belum terkuak, dan kedua, saat semua telah usai dan ia gak lebih dari sebuah kenangan.

Banyak yang bilang kalau luka, juga tawa, akan terhapus oleh waktu. Pelan-pelan, bertahap. Mungkin maksudnya terhapus jika ada pengalaman baru yang bertolak belakang dengannya. Kalau setelah terluka kita gak juga menemukan kebahagiaan, apalagi jika luka itu menjadi sebab munculnya luka-luka yang lain, ya mana mungkin kita bisa lupa dengannya.

Karena setiap luka itu mendewasakan, maka belajar terhadapnya adalah keharusan. Tujuannya tentu agar kita gak kembali terluka, apalagi karena “mata pisau” yang sama. Tapi, karena waktu bisa membuat kita lupa terhadap luka itu, maka kita perlu mengabadikan kesadaran tentang rasa sakit akibat luka itu. Bukan agar kita selamanya menderita, tapi agar kita gak berhenti belajar.

sebatas pernah sekadar singgah

Surat Cinta Untukku

Buku “Sebatas Pernah Sekadar Singgah” ini adalah sebuah catatan tentang luka itu. Tentang hari-hari penuh senyum, tawa, keyakinan, dan optimisme, yang kemudian ambyar gara-gara kenyataan yang gak mau berkompromi dengan harapan, dan tentu saja tentang nama (atau nama-nama?) yang sebatas pernah membersamaiku dan sekadar singgah di hati.

Ada banyak potongan cerita yang kutulis di buku ini. Semuanya kumaksudkan sebagai pengingat tentang apa yang pernah kurasakan di masa lalu. Agar di masa mendatang, luka yang sama gak perlu lagi kurasakan. Tapi, alih-alih menuliskannya sebagai catatan pendek laiknya resep masakan, aku menuangkannya bak surat-surat kepada seseorang di masa depan –aku sendiri.

Meski terdengar sangat personal, aku ingin surat-surat ini bisa dibaca oleh Teman-temanku. Sebab aku yakin, di dunia yang katanya selebar daun kelor ini, banyak di antara mereka yang pernah ada di masa-masa sulit yang sama dan harus berjibaku dengan perasaan yang sama, entah rasa sayang, cinta, cemburu, atau marah.

Aku juga ingin mengajak Teman-teman “menumpang” mesin waktu, sekadar untuk bolak-balik mengunjungi masa lalu. Bukan untuk menetap, tentunya, tapi sekadar menengok. Mengingat tawa yang pernah ada, mengenang kebahagiaan yang pernah kami bagi berdua, dan mengambil pelajaran dari luka yang meneteskan airmata.

 

Salam,

@Intanorii

***

Buku Sebatas Pernah Sekadar Singgah akan segera terbit bulan Juli besok. Teman-teman yang ingin memilikinya bisa mengikuti Pre Order (PO) di tanggal yang akan disampaikan dalam minggu-minggu ini. Teknis pemesanan, periode PO, bonus dan benefit, serta harga buku akan diinformasikan melalui akun media sosial penulis.

cinta ayah

Ayah: Hari-hari Bersamanya dan Kenangan Cinta darinya

Ayah adalah sosok yang istimewa di mata anak-anaknya.

Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi dalam salah satu tulisannya berkata, “Kenangan masa kecil yang paling indah adalah kau tidur di bagian rumah mana pun, tapi ketika terbangun kau sudah berada di tempat tidurmu. Ya Allah, kasihanilah kedua orangtuaku, sebagaimana mereka telah mengasihiku sejak aku kecil.”

Saya senyum-senyum sendiri saat membaca tulisan itu. Rasa-rasanya ia mewakili sisi paling personal diri saya.

Sewaktu masih anak-anak, menonton TV sambil tiduran di karpet adalah kebiasaan saya sepulang mengaji. Menariknya, saat terbangun keadaan saya pasti sudah berbeda; masih di tempat yang sama tapi berbalut selimut atau sudah pindah ke dalam kamar. Siapa yang melakukannya? Ayah.

Sebelum keluarga kami punya TV, menonton TV di rumah kerabat hampir tiap malam saya lakukan. Dan tiap kali saya ketiduran, Ayahlah yang selalu sabar menggendong saya pulang, meski jaraknya lumayan jauh. Sebisa mungkin ia menjaga saya agar tak terbangun.

Betapa indah kala itu, masa-masa ketika pelukan Ayah secara ajaib selalu ada untuk saya. Kini, semua berubah. Saya sudah dewasa dan tubuh Ayah semakin termakan usia. Saya mengerti, kewajiban itu kini beralih ke tangan saya. Sayalah saat ini yang harus menunjukkan kasih sayang yang sama, meski tak mungkin setimpal, pada Ayah. Saya paham kenapa Ayah selalu menggeleng setiap kali saya tanya apa yang ia inginkan. Ia enggan merepotkan saya.

Lucu, bukan? Saya, anaknya, bertahun-tahun merepotkannya. Kini setelah saya dewasa dan ingin membalas kebaikannya, ia menjawab tak ingin merepotkan saya. Sering saya berbisik dalam doa-doa saya, semoga Allah memberi umur panjang dan kesehatan yang berkah padanya. Setidaknya, agar saya terus bisa berbagi kebahagiaan bersamanya. Semoga Allah mengabulkan. Amin.

 

Ditulis oleh Hendra Wirawan

***

Cerita singkat ini adalah Pemenang Pertama Kompetisi Menulis Pengalaman Pribadi yang diadakan oleh Penerbit Qultummedia dan Komunitas Teladan Rasul. Tema tulisan dalam kompetisi ini bersumber dari buku Open Your Heart, Follow Your Prophet karya Arif Rahman Lubis, yaitu tentang ayah.

 

*Gambar didownload secara gratis dari http://bossfight.co/man-baby-barn/

impian dalam hidup

Move On Mungkin Nggak Mudah, Tapi Semua Orang Bisa Melakukannya

Move On itu tanda kalau kita cukup dewasa menjalani hidup…

Cause honey your soul can never grow old
It’s ever green
Baby your smile forever in my mind and memory
And I’m thinking ‘bout how people fall in love in mysterious ways

Lagu Ed Sheran ini sempat menjadi lagu favorit gue selama berminggu-minggu. Yap, lagu romantis yang udah kepikiran bakal jadi soundtrack pas resepsi pernikahan gue. Tapi, semua berubah ketika gue menerima sebuah undangan nikah dalam bentuk video.

Undangannya unik dan kreatif. Cuman yang bikin nyesek, itu adalah undangan nikah mantan gue. Salah satu yang paling spesial, karena secara fisik doi mirip banget sama Raisa. Hehe… Cuman parahnya, backsong di undangan itu lagunya Ed Sheran yang lagi gue gandrungin itu.

Seketika gue illfeel sama lagu itu.

 

Move On Bukan Melupakan

Pernah nggak mengalami hal serupa? Berusaha move on, tapi merasa usaha yang kita lakukan sia-sia. Sia-sia karena mendadak ada wangi parfum dari undangan pernikahan mantan.

Sama seperti yang lo rasakan, gue juga pernah merasakan hal serupa. Tapi, akhirnya gue sadar kesalahan gue. Selama ini gue berusaha melupakan dia. Dan, itu ternyata salah besar.

Move on bukan tentang melupakan. Sebab, apa yang pernah menyentuh hati nggak akan bisa terlupakan. Semakin kita berusaha melupakan, semakin kita akan sulit untuk melangkah.

Mencari pengganti buat move on? Hmm… Itu nggak selamanya berhasil. Kita memang nggak bisa membohongi diri sendiri dengan mencari pengganti yang mirip dengannya. Karena hati kecil kita pasti teriak kalau tahu itu bukan dia.

Sekali lagi, move on bukan tentang melupakan atau mencari pelarian. Move on itu tentang bagaimana kita menerima kenyataan. Kenyataan kalau dia memang sudah pergi.

 

Hargai Keputusannya

Hargai keputusannya untuk pergi, lalu buru-buru sadari kalau yang selama ini membuat kita sakit hati adalah harapan kita sendiri. Sadari kalau yang membuat kita sakit hati adalah ketakutan kita menjalani hari esok tanpa dia yang menemani.

Nggak perlu menyalahkan, nggak perlu membenci. Cinta bukan untuk saling benci. Hargai saja keputusannya untuk pergi. Dia memang indah, tapi jangan lupa, tanpanya hidup kita masih berharga dan memiliki arti.

 

*Brili Agung, penulis ME: Fokus pada Kekuatan, Jangan Sibuk dengan Kelemahan
**Sumber foto: https://blogofthebeardedone.wordpress.com